MEMAHAMI MAKNA "USWATUN HASANAH"
Sesungguhnya nikmat Allâh Azza wa Jalla kepada manusia sangat banyak.
Di antara nikmat besar yang Allâh Azza wa Jalla anugerahkan kepada para
hamba-Nya, adalah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada seluruh manusia. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ
رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ
Sesungguhnya Allâh telah memberi karunia kepada orang-orang yang
beriman ketika Allâh mengutus di antara mereka seorang Rasul dari
golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allâh,
membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab
(al-Qur`ân) dan al-Hikmah (Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan
Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata
[Ali-‘Imrân/3: 164]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah insan yang terbaik,
memiliki budi pekerti yang paling luhur, sebagaimana firman Allâh Azza
wa Jalla :
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung (QS. al-Qalam/68:4)
Demikian juga, petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik petunjuk. Beliau n bersabda:
فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى
مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Sesungguhnya sebaik-baik berita adalah kitab Allâh, sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Muhammad, seburuk-buruk perkara adalah
perkara-perkara baru (dalam agama), dan semua bid’ah adalah kesesatan.
[HR.Muslim no. 864]
USWAH HASANAH ADALAH NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Dengan penjelasan di atas, maka dalam pandangan seorang Mukmin Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik teladan (uswah
hasanah) dalam semua keadaan beliau, kecuali dalam hukum-hukum yang
memang dikhususkan bagi beliau n semata.
Allâh Azza wa Jalla berfirman menjelaskan kaedah yang sangat agung ini dalam firman-Nya:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ
كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan
(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allâh [al-Ahzâb/33:21]
Walaupun ayat ini turun ketika di dalam keadaan perang Ahzâb, akan
tetapi hukumnya umum meliputi keadaan kapan saja dan dalam hal apa saja.
Atas dasar itu, Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata tentang ayat ini,
“Ayat yang mulia ini merupakan fondasi/dalil yang agung dalam
meneladani Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua
perkataan, perbuatan, dan keadaan beliau. Orang-orang diperintahkan
meneladani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perang Ahzâb, dalam
kesabaran, usaha bersabar, istiqomah, perjuangan, dan penantian beliau
terhadap pertolongan dari Rabbnya. Semoga sholawat dan salam selalu
dilimpahkan kepada beliau sampai hari Pembalasan”. [Tafsir Ibnu Katsir,
6/391, penerbit: Daru Thayyibah]
Demikian juga Syaikh Abdur Rahmân bin Nâshir as-Sa’di rahimahullah
menjelaskan kaedah menaladani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini
dengan menyatakan, “Para Ulama ushul (fiqih) berdalil (menggunakan)
dengan ayat ini untuk berhujjah dengan perbuatan-perbuatan Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bahwa (hukum asal) umat beliau adalah
meneladani (beliau) dalam semua hukum, kecuali perkara-perkara yang
ditunjukkan oleh dalil syari’at sebagai kekhususan bagi beliau. Kemudian
uswah (teladan) itu ada dua: uswah hasanah (teladan yang baik) dan
uswah sayyi`ah (teladan yang buruk).
Uswah hasanah (teladan yang baik) ada pada diri Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena orang yang meneladani beliau
adalah orang yang menapaki jalan yang akan menghantarkan menuju
kemuliaan dari Allâh Azza wa Jalla , dan itu adalah shirâthâl mustaqîm
(jalan yang lurus).
Adapun meneladani (mengikuti orang) selain beliau, jika menyelisihi
beliau, maka dia adalah uswah sayyi`ah (teladan yang buruk). Sebagaimana
perkataan orang-orang kafir ketika diajak oleh para rasul untuk
meneladani mereka, (namun orang-orang kafir itu mengatakan):
إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَىٰ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰ آثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ
Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama,
dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan
(mengikuti) jejak mereka. [Az-Zukhruf/43:22]
Orang yang mengikuti uswah hasanah (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam ) dan mendapatkan taufik ini hanyalah orang yang mengharap
(rahmat) Allâh dan (kedatangan) hari Kiamat. Karena keimanan yang ada
padanya, demikian juga rasa takut kepada Allâh Azza wa Jalla , dan
mengharapkan pahala-Nya, serta takut terhadap siksa-Nya, (semua itu)
mendorongnya untuk meneladani Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
”. [Taisîr Karîmir Rahmân, surat al-Ahzâb/33:21]
PRAKTEK NYATA KAEDAH ‘NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM ADALAH USWAH HASANAH’
Kaedah ‘Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah uswah
hasanah’ adalah kaedah yang agung yang dipratekkan oleh tokoh-tokoh umat
ini, termasuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Marilah
kita perhatikan hadits berikut ini, bagaimana beliau menegur salah
seorang Sahabat beliau dengan kaedah agung ini:
عَنْ عُرْوَةَ قَالَ:” دَخَلَتِ امْرَأَةُ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ –
أَحْسِبُ اسْمَهَا خَوْلَةَ بِنْتَ حَكِيمٍ – عَلَى عَائِشَةَ وَهِىَ
بَاذَّةُ الْهَيْئَةِ فَسَأَلَتْهَا:”مَا شَأْنُكِ ؟”. فَقَالَتْ :”زَوْجِى
يَقُومُ اللَّيْلَ وَيَصُومُ النَّهَارَ”. فَدَخَلَ النَّبِىُّ – n –
فَذَكَرَتْ عَائِشَةُ ذَلِكَ لَهُ فَلَقِىَ رَسُولُ اللَّهِ – n –
عُثْمَانَ فَقَالَ :”يَا عُثْمَانُ إِنَّ الرَّهْبَانِيَّةَ لَمْ تُكْتَبْ
عَلَيْنَا أَفَمَا لَكَ فِىَّ أُسْوَةٌ فَوَاللَّهِ إِنِّى أَخْشَاكُمْ
لِلَّهِ وَأَحْفَظُكُمْ لِحُدُودِهِ “.
Dari ‘Urwah, dia berkata, “Istri ‘Utsmân bin Mazh’ûn – menurutku
namanya adalah Khaulah binti Hakîm- menemui ‘Aisyah dengan pakaian
seadanya. ‘Aisyah bertanya kepadanya, “Kenapa engkau ini?” Dia menjawab,
“Suamiku selalu (sibuk) sholat malam dan berpuasa di siang hari”.
Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk, ‘Aisyah pun
menyampaikan hal itu kepada beliau. Kemudian Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam menemui ‘Utsmân seraya berkata, “‘Utsmân, sesungguhnya
kependetaan tidak diwajibkan atas kita. Tidakkah pada diriku terdapat
uswah (teladan) bagimu? Demi Allâh, aku adalah orang yang paling takut
kepada Allâh dan orang yang paling menjaga hukum-hukumNya di antara
kamu’. [HR. Ahmad dan dishahîhkan oleh al-Albâni dalam Silsilah
ash-Shahîhah no.1782]
Allâhu Akbar, alangkah lembutnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menegur Sahabat ini, “Utsmân, sesungguhnya kependetaan tidak diwajibkan
atas kita. Tidakkah pada diriku terdapat uswah (teladan) bagimu?”
Wahai orang-orang yang menelantarkan keluarganya dengan alasan dakwah
dan memikirkan umat, tidakkah pada diri Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam terdapat uswah (teladan) bagi kalian?”
Wahai, orang-orang yang membuat-buat ibadah sendiri, tanpa tuntunan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dengan hanya mengikuti seorang
ustadz, kyai dan figur tertentu saja, tidakkah pada diri Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat uswah (teladan) bagi kalian?”
Marilah kita perhatikan kejadian berikut ini:
Sahabat ‘Ubaid bin Khâalid al-Muharibi Radhiyallahu anhu berkata:
إِنِّي لَبِسُوقِ ذِي الْمَجَازِ عَلَيَّ بُرْدَةٌ لِي مَلْحَاءُ
أَسْحَبُهَا قَالَ فَطَعَنَنِي رَجُلٌ بِمِخْصَرَةٍ فَقَالَ ارْفَعْ
إِزَارَكَ فَإِنَّهُ أَبْقَى وَأَنْقَى( أَمَا لَكَ فِيَّ أُسْوَةٌ )
فَنَظَرْتُ فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَنَظَرْتُ فَإِذَا إِزَارُهُ إِلَى أَنْصَافِ سَاقَيْهِ
Aku berada di pasar Dzil Majâz mengenakan burdah (semacam selimut)
bergaris-garis hitam dan putih milikku dengan menyeretnya. Lalu seorang
laki-laki menekanku dengan tongkatnya, sambil berkata: “Angkatlah
sarungmu, itu (akan membuatnya) lebih awet dan lebih bersih. (Tidakkah
pada diriku terdapat teladan baik bagimu?)”. Lalu aku melihatnya,
ternyata dia (lelaki itu) adalah Rasûlullâh, lalu aku memandang ternyata
sarung beliau sampai pertengahan kedua betis beliau. [HR. Ahmad,
no:22007; tambahan dalam kurung riwayat at-Tirmidzi dalam asy-Syamâil]
Maka, orang-orang yang sengaja memanjangkan sarung atau celananya
melebihi mata kaki, dengan alasan tidak sombong, dengan dalih Sahabat
Abu Bakar Radhiyallahu anhu juga melakukannya tanpa kesombongan,
tidakkah pada diri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat
uswah (teladan) bagi mereka?”
Padahal, Sahabat Abu Bakar Radhiyallahu anhu selalu menjaga diri
untuk tidak isbal, beliau tidak sengaja melakukan isbal. Oleh karenanya,
mendapatkan rekomendasi dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa
dia tidak melakukannya karena sombong!
Ibnu ‘Umar berkata:
مَرَرْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَفِي إِزَارِي اسْتِرْخَاءٌ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ ارْفَعْ إِزَارَكَ
فَرَفَعْتُهُ ثُمَّ قَالَ زِدْ فَزِدْتُ فَمَا زِلْتُ أَتَحَرَّاهَا
بَعْدُ فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ إِلَى أَيْنَ فَقَالَ أَنْصَافِ
السَّاقَيْنِ
Aku melewati Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sedangkan
sarungku turun, maka beliau bersabda: “Wahai ‘Abdullâh, angkatlah
sarungmu!”, maka aku mengangkatnya. Lalu beliau bersabda; “Tambahlah
(Naikkan lagi)!” Maka aku menambahkan (menaikkannya lagi). Setelah itu
aku selalu menjaganya.” Sebagian orang bertanya: “Sampai mana?” Ibnu
‘Umar berkata: “Pertengahan betis”. [HR. Muslim, no: 2086. Riyâdhus
Shâlihîn, no: 800]
Pada riwayat Imam Ahmad rahimahullah disebutkan, Zaid bin Aslam
berkata: bahwa Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu bercerita, “Bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya memakai sarung baru, kemudian
beliau bertanya: “Siapa ini?” Aku menjawab: “’Abdullâh”. Beliau
bersabda: “Jika engkau ‘Abdullâh, maka angkatlah sarungmu!”, maka aku
mengangkatnya. Kemudian beliau bersabda; “Tambahlah (Naikkan lagi)!”
Maka aku menaikkannya sehingga sampai pertengahan betis”. Kemudian
beliau menoleh kepada Abu Bakar sambil bersabda: “Barangsiapa menyeret
pakaiannya karena ke sombongan, Allâh tidak akan melihatnya pada hari
Kiamat”. Lalu Abu Bakar berkata: “Sesungguhnya terkadang sarungku
turun”. Maka Nabi bersabda: “Engkau tidak termasuk mereka”. [HR. Ahmad,
no: 6056]
Namun Anda, wahai orang yang memanjangkan celana sampai menutupi mata
kaki, sengaja melakukannya, tidak menjaga dengan menaikkannya, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memberikan rekomendasi kepada
Anda bahwa anda tidak sombong! Jika Anda beranggapan diri Anda seperti
Abu Bakar Radhiyallahu anhu – insan terbaik dari umat ini setelah
Nabinya- maka alangkah besarnya kesombongan Anda!
Tidakkah Anda mengetahui bahwa isbal merupakan kesombongan atau
sarana menuju kesombongan. Marilah kita perhatikan sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Jâbir bin Sulaim Radhyiallahu anhu
di bawah ini:
وَارْفَعْ إِزَارَكَ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ فَإِنْ أَبَيْتَ فَإِلَى
الْكَعْبَيْنِ وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الْإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنَ
الْمَخِيلَةِ وَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمَخِيلَةَ
Angkatlah sarungmu sampai pertengahan betis, jika engkau enggan maka
sampai kedua mata kaki. Janganlah engkau menjulurkan kain sarung, karena
sesungguhnya itu termasuk kesombongan, dan Allâh tidak menyukai
kesombongan. [HR.Abu Dâwud, no: 4084, dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni]
PRAKTEK SAHABAT NABI TERHADAP KAEDAH DI ATAS
Para Sahabat Radhiyallahu anhu juga mengikuti pemahaman Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam , berhujjah dengan ayat yang artinya “Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu”.
Contoh bagaimana mereka mengaplikasikan kaedah agung ini sangat banyak,
berikut beberapa permisalannya.
Marilah kita amati sikap ‘Abdullâh bin ‘Umar Radhayallahu anhu yang tertuang dalam riwayat berikut:
عَنْ سَعِيدِ بْنِ يَسَارٍ أَنَّهُ قَالَ: ” كُنْتُ أَسِيرُ مَعَ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عُمَرَ بِطَرِيقِ مَكَّةَ “. فَقَالَ سَعِيدٌ : “فَلَمَّا
خَشِيتُ الصُّبْحَ نَزَلْتُ فَأَوْتَرْتُ ، ثُمَّ لَحِقْتُهُ”. فَقَالَ
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ : “أَيْنَ كُنْتَ ؟”. فَقُلْتُ : “خَشِيتُ
الصُّبْحَ ، فَنَزَلْتُ فَأَوْتَرْتُ “.. فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ:”
أَلَيْسَ لَكَ فِى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أُسْوَةٌ
حَسَنَةٌ ؟” فَقُلْتُ :”بَلَى وَاللَّهِ “. قَالَ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ –
صلى الله عليه وسلم – كَانَ يُوتِرُ عَلَى الْبَعِيرِ”.
Dari Sa’îd bin Yasâr, dia berkata, “(Pernah) aku pergi bersama
‘Abdullâh bin ‘Umar di suatu jalan di kota Mekah. Ketika aku khawatir
(masuk waktu) Subuh, aku turun (dari ontaku, lalu aku mengerjakan shalat
witir, kemudian aku menyusulnya”. ‘Abdullâh bin ‘Umar bertanya, ‘Dimana
saja engkau?’ Aku menjawab,”‘Aku khawatir (masuk waktu) Subuh, aku
turun (dari ontaku) untuk mengerjakan sholat witir”. ‘Abdullâh bin ‘Umar
berkata, “Tidakkah pada diri Rasûlullâh terdapat uswah (teladan baik)
bagimu?” Maka aku menjawab, ‘Ya, demi Allâh’. ‘Abdullâh bin ‘Umar
berkata, ‘Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
mengerjakan sholat witir di atas onta’. [HR. al-Bukhari, no. 999]
Contoh lain, berkait dengan ketulusan Sahabat Nabi menerima kebenaran
ketika diingatkan dengan kaedah yang agung ini. Karena kebenaran itu
lebih berhak untuk diikuti. Lihatlah kisah yang menakjubkan di bawah
ini:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ طَافَ مَعَ مُعَاوِيَةَ بِالْبَيْتِ
فَجَعَلَ مُعَاوِيَةُ يَسْتَلِمُ الْأَرْكَانَ كُلَّهَا فَقَالَ لَهُ ابْنُ
عَبَّاسٍ لِمَ تَسْتَلِمُ هَذَيْنِ الرُّكْنَيْنِ وَلَمْ يَكُنْ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَلِمُهُمَا فَقَالَ
مُعَاوِيَةُ لَيْسَ شَيْءٌ مِنْ الْبَيْتِ مَهْجُورًا فَقَالَ ابْنُ
عَبَّاسٍ { لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ }
فَقَالَ مُعَاوِيَةُ صَدَقْتَ.
Dari Ibnu ‘Abbâs, dia mengerjakan tawaf di Baitullâh bersama
Mu’âwiyah. Lalu Mu’âwiyah mulai menyentuh semua sudutnya (sudut Ka’bah).
Maka Ibnu ‘Abbâs berkata kepadanya, “Mengapa Anda menyentuh dua pojok
(Syami) ini, padahal Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
pernah menyentuh keduanya?”. Mu’awiyah menjawab, “Tidak ada sesuatu
(pojok) dari Baitullâh ini yang ditinggalkan!”. Maka Ibnu ‘Abbâs berkata
kepadanya, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri
teladan yang baik bagimu”. Maka Mu’âwiyah berkata, “Engkau benar!”. [HR.
Ahmad, no. 1877]
Mu’âwiyah bin Abu Sufyân Radhiyallahu anhu, salah seorang Sahabat
penulis wahyu di masa kenabian, penguasa di zamannya, raja pertama dan
terbaik di antara umat ini, beliau tidak malu menerima kebenaran dari
Sahabat yang usianya di bawahnya, yaitu Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu,
karena memang “sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri
teladan yang baik bagi orang beriman”, maka selayaknya kita tidak malu
untuk terbuka menerima kepada kebenaran. Karena berpaling dari kesalahan
untuk kembali kepada kebenaran adalah keutamaan, bukan kehinaan.
PRAKTEK ULAMA TERHADAP KAEDAH DI ATAS
Bukan hanya generasi Sahabat saja yang menjunjung tinggi keteladanan
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kehidupan mereka,
generasi-generasi berikutnya pun juga berjalan di atas jalan mereka
(para Sahabat) yang baik itu. Marilah kita perhatikan bagaimana sikap
Imam Mâlik bin Anas Radhiyallahu anhu , terhadap orang yang menyelisihi
petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kisah berikut ini:
Sufyân bin ‘Uyainah rahimahullah berkata: “Imam Mâlik rahimahullah
didatangi seorang lelaki, lalu bertanya: “Wahai Abu ‘Abdullâh, dari mana
aku memulai ihrom?” Beliau menjawab: “Dari Dzul Hulaifah, tempat
berihrom Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”. Lelaki tadi
berkata: “Aku ingin berihrom dari masjid di dekat kubur (saja)”. Imam
Mâlik rahimahullah berkata: “Jangan engkau lakukan (itu), aku khawatir
musibah akan menimpamu”. Dia menjawab: “Musibah apa?” Imam Malik
rahimahullah berkata: “Apakah ada musibah yang lebih besar dari
anggapanmu bahwa engkau meraih keutamaan yang tidak dapat diraih oleh
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Sesungguhnya aku mendengar
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-nya (Rasul) takut
akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (an-Nûr/24:63).
[Riwayat al-Khathîb dalam al-Faqîh wal Mutafaqqih, 1/148; dll. Lihat
‘Ilmu Ushûl Bida’, hlm. 72]
Semoga Allâh Azza wa Jalla merahmati Imam Mâlik rahimahullah, yang
telah memberikan contoh mulia dalam menasehati umat agar tetap mengikuti
teladan terbaik mereka.
Dengan sedikit penjelasan dan contoh-contoh di atas maka sepantasnya
kita bertanya kepada diri kita, “Sudahkan kita menjadikan Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai uswah hasanah bagi kita, dalam
seluruh sisi kehidupan?”. Jika ya, maka marilah berharap dan memohon
Allâh Azza wa Jalla mencurahkan rahmat-Nya dan balasan baik di akherat.
Jika tidak (belum), maka kita perlu memperbaiki diri kita ke arah yang
lebih baik. Semoga Allâh selalu membimbing kita di atas jalan-Nya yang
lurus. Wallâhu a’lam
sekian penjelasan dan pengetahuan dari saya :uswatun hasanah .semoga pengetahuan yang saya berikan berguna bagi pembacanya
wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar