Sabtu, 19 November 2016



KETELADANAN Uswatun Hasanah

SURITAULADAN Rasulullah saw.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu uswatun hasanah (suri teladan yang baik) bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
MENGHIDUPKAN SUNNAH

[QS. Al-Ahzaab: 21]

Ayat yang agung di atas, di setiap bulan Rabi’ul Awwal, biasanya menjadi ayat yang paling sering terdengar dari corong-corong masjid. Tentu saja melalui mimbar-mimbar ceramah maulid. Para penceramah maulid juga tidak pernah lupa mengingatkan makna inti yang terkandung dalam ayat tersebut, bahwa kita sebagai ummat Muhammad wajib untuk menjadikan beliau sebagai panutan dan ikutan dalam mengamalkan agama. Belakangan, mencuat sebuah pertanyaan, sudahkah makna inti ayat tersebut terealisasi pada diri dan masyarakat muslim kita? Dan apakah kita telah memahami hakikat “uswatun hasanah” yang diinginkan oleh ayat tersebut?

Ulama tafsir mengaitkan turunnya ayat di atas secara khusus dengan peristiwa perang Khandaq yang sangat memberatkan kaum muslimin saat itu. Nabi dan para Sahabat benar-benar dalam keadaan susah dan lapar, sampai-sampai para Sahabat mengganjal perut dengan batu demi menahan perihnya rasa lapar. Mereka pun berkeluh kesah kepada Nabi. Adapun Nabi, benar-benar beliau adalah suri teladan dalam hal kesabaran ketika itu. Nabi bahkan mengganjal perutnya dengan dua buah batu, namun justru paling gigih dan sabar. Kesabaran Nabi dan perjuangan beliau tanpa sedikitpun berkeluh kesah dalam kisah Khandaq, diabadikan oleh ayat di atas sebagai bentuk suri teladan yang sepatutnya diikuti oleh ummatnya. Sekali lagi ini adalah penafsiran yang bersifat khusus dari ayat tersebut, jika ditilik dari peristiwa yang melatar belakanginya. [lihat Tafsir al-Qurthubi: 14/138-139]

Adapun jika dikaji secara lebih mendalam, ayat di atas -di mata para ulama- merupakan dalil bahwasanya teladan Nabi berupa perbuatan dan tindak tanduk beliau bisa menjadi landasan atau dalil dalam menetapkan suatu perkara, karena tidak ada yang dicontohkan oleh Nabi kepada ummatnya melainkan contoh yang terbaik. Hal ini dijelaskan oleh Imam ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’adi dalam kitab tafsirnya yang terkenal, Tafsir Kariimir Rahmaan. Beliau berkata (hal. 726 Cet. Darul Hadits):

“Para ulama ushul berdalil dengan ayat ini tentang ber-hujjah (berargumen) menggunakan perbuatan-perbuatan Nabi. (Karena) pada asalnya, ummat beliau wajib menjadikan beliau sebagai suri teladan dalam perkara hukum, kecuali ada dalil syar’i yang mengkhususkan (bahwa suatu perbuatan Nabi hanya khusus untuk beliau saja secara hukum, tidak untuk ummatnya).”

Nabi kita adalah manusia yang terbaik di segala sisi dan segi. Di setiap lini kehidupan, beliau selalu nomor satu dan paling pantas dijadikan profil percontohan untuk urusan agama dan kebaikan. Sehingga tidak heran jika Allah mewajibkan kita untuk taat mengikuti beliau serta melarang kita untuk durhaka kepadanya dalam banyak ayat al-Qur-an, di antaranya firman Allah (artinya): “…Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar.” [QS. An-Nisaa: 13]

Rasulullah juga pernah bersabda:

كُلُّ أُمَّتِيْ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَـى، فَقِيْلَ: وَمَنْ يَأْبَى يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِيْ دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِيْ فَقَدْ أَبَى

“Setiap ummatku akan masuk surga kecuali yang enggan. (Lalu) dikatakan kepada beliau: ‘Siapa yang enggan itu wahai Rasulullah ?’ Maka beliau menjawab: ‘Barangsiapa mentaati aku ia pasti masuk surga, dan barangsiapa yang mendurhakaiku maka ia enggan (masuk surga).” [Shahih Bukhari: 7280]

Makna Uswatun Hasanah

Kita sering terperangkap dalam pola prinsip yang keliru dalam memaknai hakikat uswatun hasanah yang ada pada diri Rasulullah . Tidak sedikit di antara kita mengkerdilkan makna sifat uswah (keteladanan) Nabi hanya terbatas pada masalah-masalah akhlak, sunnah-sunnah dan ritual ibadah yang dikerjakan oleh Nabi saja. Padahal, syari’at juga menuntut kita untuk meninggalkan -atau tidak mengerjakan- segala sesuatu yang tidak dikerjakan oleh Nabi dalam urusan agama ini. Inilah makna uswah yang lebih sempurna, mencakup sunnah fi’liyyah dan juga sunnah tarkiyyah.

Sunnah fi’liyyah adalah sunnah yang dikerjakan atau dicontohkan oleh Nabi. Dalam hal ini kita pun disunnahkan -bahkan bisa wajib- untuk mengerjakan persis seperti apa yang dikerjakan oleh beliau sebatas kemampuan kita.

Adapun pada sunnah tarkiyyah, kita dituntut untuk meninggalkan suatu bentuk ritual dikarenakan ritual tersebut ditinggalkan atau tidak dikerjakan oleh Nabi di masanya, padahal sangat memungkinkan untuk dikerjakan di masa beliau. Contohnya adalah kumandang adzan saat solat ‘Ied, adzan solat istisqo’ (minta hujan), dan adzan untuk jenazah. Ini semua ditinggalkan atau tidak dikerjakan oleh Nabi, maka bagi kita ummatnya, meninggalkan ritual-ritual (seperti adzan yang tidak pada tempatnya) tersebut juga termasuk sunnah –yang sifatnya wajib-, yang disebut sebagai sunnah tarkiyyah.

Akhlaqul Karimah

Rasulullah SAW adalah Uswatun Khasanah, yaitu teladan bagi setiap manusia yang hidup di dunia. Sebagai umatnya kita disunahkan untuk mengambil dan mencontoh keteladanan beliau. Namun dalam kebanyakan kajian sering orang mengartikan dan memaknainya secara sempit. Mereka menganjurkan kita untuk mengamalkan sunah-sunah Rasulullah SAW, tanpa menekankan bahwa Rasulullah itu adalah suri tauladan dan apabila kita ingin mengambil atau melaksanakan keteladanan beliau maka kita pun semestinya harus menjadi teladan bagi orang lain, sesuai dengan kemamuan dan kapasitas kita masing-masing.

Dalam komunitas yang kita bangun sudah seharusnyalah kita bisa saling meneladani atau menjadi teladan satu sarna lain dalam arti kebaikan dan menjadi kesatuan masyarakat kecil yang bisa menjadi teladan bagi kehidupan masyarakat. Mudah-mudahan apa yang kita cita-citakan dapat kita raih dan diridloi oleh Allah SWT.

Di dalam Al Qur’an telah diterangkan bahwa Muhammad SAW adalah contoh yang paling baik bagi umat manusia yang menghendaki perjumpaan dengan Allah ketika kita masih hidup di atas dunia. Hal ini sesuai dengan firman Allah ;

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagi kamu, yaitu bagi orang-orang yang mengharapkan menemui Allah dan Hari Akhir dan mengingat Allah sebanyak-banyak” (QS Al Ahzab 33 : 21).

Sebagian ahli tafsir, banyak yang menterjemahkan ayat tersebut dengan iftiro atau menambah-nambahkan ayat tersebut dengan kata “mengharapkan rahmat Allah”, padahal bunyi sebenarnya adalah “Laqod kaana lakum fii Rasulillahi uswatu hasanatun liman kaana yaarjullohu walyaumil akhirawadzakarooloha kasyiron”.

Dalam ayat tersebut terdapat kata “yarjulloha” yang berarti mengharap Allah. Jadi bukan mengharapkan rahmat Allah atau mengharapkan ridha Allah, atau mengharapkan pahala Allah, atau mengharapkan rezeki Allah, tetapi yang benar adalah mengharapkan Allah semata. Bahkan kalau boleh dipertegas lagi ayat tersebut bermakna : “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang paling baik bai kamu, yaitu bagi orang yang mengharapkan menemui Allah dan hari akhir dan banyak mengingat Allah”. Berdasarkan ayat tersebut, dapat disimpulkan bahwa Rasulullah adalah contoh yang paling baik bagi umat manusia yang ingin mengharapkan bertemu dengan Allah di dunia ini, dan juga bertemu dengan hari akhir, agar kita dapat mengingat Allah sebanyak-banyaknya. Sebab mustahil kita dapat mengingat Allah apabila kita belum pernah bertemu dan melihat Allah.

Muhammad secara batiniah adalah suatu anasir Yang Bersifat Terpuji, yang telah dimiliki oleh setiap manusia tanpa kecuali. Tetapi yang sangat disayangkan adalah bahwa tidak semua umat manusia yang menyadari keberadaan anasir tersebut, apalagi menumbuhkannya dalam kehidupan sehari-harinya. Sehingga tidaklah mengherankan apabila banyak orang yang mengaku umat Muhammad atau umat yang sangat terpuji, justru banyak melakukan perbuatan tercela. Hal ini diakibatkan karena mereka belum dapat meneyerap Muhammad dalam arti nilai-nilai keterpujian, di setiap aktivitas hidupnya dalam bermasyarakat. Padahal setiap harinya mereka selalu mengatakan : “Aku telah menyaksikan bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan aku telah menyaksikan bahwa Muhammad adalah Utusan Allah”. Kalimat Syahadat tersebut mempunyai makna yang sangat dalam sekali, yaitu saksinya seorang pesaksi yang menyaksikan kepada siapa dia bersaksi. Secara hakikat, makna simbolis dari “wa asyhadu an la Muhammad Rasulullah” adalah sebuah pengakuan bahwa setiap diri telah ditempati oleh anasir Terpuji yaitu Nur Muhammad, yang harus diimani dan diikuti sesuai dengan firman Allah dalam Al Qur’an dan juga sabda Nabi Muhammad SAW :

“Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya di dalam dirimu ada Rasulullah …” (QS Al Hujurot 49 : 7).

Katakanlah : “Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu” QS Ali Imran 3 : 31).

“Muhammad itu sekali-kalilah bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu tetapi dia adalah Rasul Allah dan penutup Nabi-Nabi. Dan sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segalanya” (QS Al Ahzab 33 : 40).

“Orang-orang yang telah kami beri Al Kitab, mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahuinya” (QS Al Baqarah 2 : 146).

Akhlak Rasulullah Muhammad saw. Dalam Memimpin

Salah satu hal yang perlu kita contoh dari diri Rasulullah Muhammad saw. Adalah akhlak beliau dalam menjalankan kepemimpinannya. Gambaran tentang bagaimana Rasulullah Muhammad saw menjalankan tugas kepemimpinannya tersebut dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Ali Imron ayat 159, yang artinya:

“Maka disebabkan rahmat Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingnya. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”.

Asbabun Nuzul ayat yang berkenaan dengan perang uhud, dimana pada perang uhud kaum muslimin menderita kekalahan yang besar. Sesuatu yang memprihatinkan pada saat itu adalh kebanyakan para sahabat pada saat itu melarikan diri dari medan pertempuran, padahal melarikan diri dari medan pertempuran menurut ajaran islam adalah sebuah dosa besar. Karena hal tersebut, Rasulullah Muhammad saw. pada saat itu hanya dikawal oleh delapan sampai empat belas orang saja.

Akan tetapi, meskipun demikian, ketika Rasulullah Muhammad saw. kembali ke Madinah, para sahabat yang lari dari emperan tersebut kemudian kembali menemui Rasul. Ketika Rasulullah Muhammad saw. melihat mereka kembali, beliau tidak berkata kasar dan menunjukan wajah yang ramah. Rasul tetap memperlakukan mereka dengan penuh keramahan. Itulah yang di maksud oleh ayat itu maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.

Dari ayat tersebut, ada beberapa pelajaran yang dapat kita petik berkaitan dengan masalah kepemimpinan, atau akhlak yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, yaitu:

-Siap untuk kecewa melihat kinerja para bawahan yang mempunyai kinerja yang tidak baik

-Siap untuk memaafkan bawahan yang mempunyai kinerja yang tidak baik tersebut

-menjauhkan diri dari sikap atau sifat fazhzban, yaitu mempunyai lisan yang kasar dan sering menyakiti orang lain

-Menjauhakan diri dari sikap atau sifat ghalizhal qalb, yaitu hatinya keras, tidak mudah tersentuh dengan penderitaan orang lain

-Memaafkan dan memohon ampunkan mereka yang telah berbuat kesalahan atau kekeliruan

Jika beberapa akhlak tersebut dapat di miliki oleh beberapa pemimpin, maka kesuksesan pemimpin dalam melaksanakan tugasnya akan berwujud kesuksesan yang paripurna dan akan mendapatkan dukungan dari fihak manapun.

Rasulullah saw. Sebagai Tajir

Rasulullah SAW hidup di dunia ini selama 63 tahun. Beliau diangkat sebagai Rasul sejak usia 40 tahun. Berarti kehidupan beliau sebagai seorang Rasul hanya sekitar 23 tahun dari keseluruhan 63 tahun usia beliau. Kebanyakan dari kita menyoroti kehidupan Rasulullah setelah beliau diangkat menjadi Rasul. Padahal, seperti yang saya katakan di atas bahwa, perintah untuk menjadikan Rasulullah sebagai suri tauladan tidak dibatasi oleh apapun. Bukankah kemuliaan ahlak Rasulullah SAW sudah diakui oleh kaumnya jauh sebelum beliau diangkat sebagai Rasul, sehingga kaumnya menjuluki beliau sebagai Al-Amin (yang terpercaya)?

Buku “Rahasia Bisnis Rasulullah” yang ditulis oleh Prof. Laode Kamaluddin Ph.D ini mencoba menyoroti kehidupan Rasulullah sebagai seorang businessman. Sebelum diangkat menjadi Rasul, beliau adalah seorang pebisnis, pedagang yang ulung. Beliau mampu menbangun jaringan perdagangan yang selalu untung dan tidak pernah rugi. Sehingga menjadi magnet bagi para jutawan dan konglomerat di Arab waktu itu untuk menginvestasikan hartanya kepada beliau. Mereka tidak takut kalau mereka akan dikhianati oleh beliau, karena beliau terkenal sebagai Al-Amin (orang yang terpercaya).

Kemampuan Rasulullah dalam berdagang pun menarik hati wanita terkaya pada zaman itu, yaitu Khadijah. Tercatat dalam sejarah bahwa Rasulullah melaksanakan 4 kali expedisi dagang untuk Khadijah. Dalam usianya yang masih muda Rasulullah telah menjadi seorang entrepreneur yang kaya pada masa beliau. Tertarik oleh kepribadian dan kepiawaian beliau, Khadijah pun melamar beliau. Pada usia 25 tahun beliau pun menikah dengan khadijah. Sebagai mas kawinnya, tercatat dalam sejarah bahwa Rasulullah memberikan 100 ekor unta kepada khadijah, tapi dalam sebagian riwayat ada yang menyebutnya “hanya” 20 ekor unta.

Mari kita hitung-hitung secara ekonomis. Pada masa itu harga 1 ekor unta berkisar antara 200 sampai 300 dinar, berarti 100×300 = 30.000 dinar. Kalau nilai 1 dinar setara dengan 110 Dollar AS, maka mas kawin yang diberikan oleh Rasulullah adalah senilai 3.300.000 dolar AS atau setara dengan Rp.33.000.000.000 (TIGA PULUH TIGA MILIAR RUPIAH!) Atau kalau memang hanya 20 ekor maka nilainya adalah 6,6 MILYAR RUPIAH!. Kalau Rasulullah tidak kaya mana bisa beliau membayar mas kawin sebanyak itu?

Dalam bukunya ini Prof. Laode Kamaluddin memaparkan bagaimana Rasulullah menjalankan praktek-praktek manajemen dengan prinsip-prinsip seperti kejujuran, setia dan profesional. Prof Laode juga menjelaskan bahwa Rasulullah telah menjalankan praktek etika dalam berbisnis dan manajemen jauh sebelum ilmu manajemen ditemukan.

Buku ini merupakan kelanjutan dari buku “14 Langkah Rasulullah dalam Membangun Kerajaan Bisnis”. (Aku belum baca, soalnya gak punya. Buku “Rahasia Bisnis Rasulullah” ini aja dapatnya minjem :-D). Dari beberapa hadis dan riwayat sejarah, Prof. Laode dengan sangat bagus mampu menangkap pesan-pesan dari dalamnya dan merangkumkannya dalam 12 Rahasia Bisnis Rasulullah: antara lain, menjadiakan bekerja sebagai ladang menjemput surga; Berpikir visioner, kreatif dan siap menghadapi perubahan; Pintar mempromosikan diri; Menggaji karyawan sebelum kering keringatnya; Mengutamakan sinergisme; Berbisnis dengan cinta; serta Pandai bersyukur dan berucap terima kasih.

Sifat Rasulullah saw.

Sebagai nabi dan rasul terakhir, Nabi Muhammad memiliki beberapa keistemawaan. kesabarannya, ketabahannya, keberaniannya, keadilannya, kejujurannya, kepatuhannya terhadap Allah, kemurahannya, kasih sayangnya, lemah lembutnya, dan sifat – sifat terpuji lainnya merupakan miliknya dan sekaligus merupakan keistimewaannya.
Kepada Nabi Muhammad saw. diturunkan Al-Qur’an yang sekaligus merupakan sumber akhlak Beliau. Dalam sebuah hadits disebutkan :

سَئَلَتْ عَائِشَةُ عَنْ خُلُقِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ

Artinya:
Aisyah ditanya tentang akhlak Rasulullah, maka ia menjawab : “Akhlak Rasulullah saw. adalah Al-Qur’an”. (HR. Ahmad)

Keteladanan Rasulullah saw.
Uswatun Hasanah artinya teladan yang baik, yakni contoh yang baik dari Nabi Muhammad SAW, yang meliputi beberapa aspek kehidupan. Dalam Surat Al-Ahzab ayat 21 disebutkan :

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللهِ اُسْوِةٌ حَسَنَةٌ

Artinya:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang bai k bagimu.”
Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan pedoman umat Nabi Muhammad SAW.

Sunnah Rasul sebagai Uswatun Hasanah

a. Sangat Sederhana : hal ini dapat dilihat dari cara makan beliau yakni Rasulullah tidak mau makan sebelum terasa lapar dan berhenti makan sebelum terasa kenyang. Menurut Nabi Muhammad SAW, perut yang baik adalah untuk makan, ¹/з untuk air dan ¹/з lagi untuk bernafas.

b. Pemimpin yang dicintai : Beliau terkenal adil dan bejiksana dalam menyelesaikan permasalahan, Beliau lakukun dengan cermat, penuh keramahan, sehingga segala permasalahan dapat diatasi dengan memuaskan semua pihak.

c. Dipercaya : Semua ucapan beliau sejalan dengan perbuatannya, oleh karenanya beliau mendapat gelar “Al-Amin” artinya yang terpecaya.

d. Jujur : Berkata dengan sejujurnya, karena dalam kejujuran terdapat keselamatan.

e. Pemurah : Memberikan bantuan kepada siapapun walaupun orang yang meminta bantuan dengan kasar.

f. Pengasih : Beliau sangat mengasihi kaum yang lemah.

3. Akhalk terpuji Nabi Muhammad SAW. yang patut kita teladani :
a. Apabila berbicara jelas sehingga orang yang mendengarkan akan paham.
b. Apabila berkata – kata selalu diiringi dengan senyum.
c. Ketika bertemu dengan seseorang beliau mengucapkan salam lebih dulu, begitu pula pada saat berpisah.
d. Jika seseorang yang berhadapan dengan Beliau ada keperluan, maka Beliau bersabar menunggunya hingga orang itulah yang pergi dari hadapan Beliau.
e. Beliau suka bersilaturrahmi kepada keluarga, sahabat, dan orang lain.
f. Rasulullah SAW. tidak pemarah dan pendendam.s

Rasulullah memberi teladan yang baik kalau para sahabat hanya diganjal dengan satu buah batu, beliau malah diganjal dengan dua buah batu, disini jelas bahwa rasulullah lebih merasakan lapar dari pada sahabat–sahabatnya, ini memberi contoh bahwa pemimpin tidak boleh hanya mengutamakan diri sendiri, tetapi harus memperhatikan nasib rakyatnya. Sebagai uswatun hasanah, Rasulullah memiliki budi pekerti yang luar biasa. Allah memuji budi pekerti Rasulullah dalam surat Al Qalam ayat 4: 

وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ

Sesungguhnya engkau memiliki budi perkerti yang agung (QS Al-Qalam ayat 4)

Karena keluhuran akhlak beliau, maka Allah jadikan semua perkataan, perbuatan dan ketetapan beliau sebagai landasan hukum bagi umat islam yang ke dua setelah Al-Quran. Ummul Mukminin, siti Aisyah ra menggambarkan bagaimana luhurnya budi pekerti Rasulullah ketika ditanyakan kepada beliau bagaimana akhlak Rasulullah, dengan ungkapan beliau “akhlak Rasulullah adalah Al-Quran”.

Keluhuran budi pekerti Rasulullah berada pada semua aspek. Rasulullah merupakan suri teladan yang sempurna. Sebagai seorang pemimpin agama, beliau memperlihatkan akhlak seorang Nabi yang berjuang dengan santun, sabar, dan ikhas. Dalam berdakwa beliau tabah menghadapi gangguan dari musuh-musuh beliau yang tak lain berasal dari kaum beliau sendiri. Ketika berdakwah ke kota Thaif, Rasulullah mendapat perlakuan kasar, dilempari kotoran dan hewan batu sampai kaki beliau terluka. Dalam keadaan demikian Allah memberikan izin kepada malaikat penjaga gunung untuk membalikkan gunung keatas kaum Thaif bila Rasulullah kehendaki. Namun Rasulullah saw malah berdoa supaya Allah melahirkan dari keturunan mereka kaum yang menyembah Allah swt, tidak mempersekutukanNya.

Sebagai seorang pemimpin negara, Rasulullah memperlihatkan kepada umatnya bagaimana seharusnya akhlak seorang pemimpin. Beliau menjadi seorang pemimpin yang memecahkan masalah dengan musyawarah, padahal pandangan beliau sendiri sudah cukup tanpa perlu bermusyawarah dengan para shahabat. Cara dan metode Rasulullah dalam memimpin umat diikuti oleh empat shahabat utama beliau yang memerintah setelah wafat Rasulullah, sehingga dijuluki dengan Khulafaur Rasyidin; para pengganti yang mendapat petunjuk. Dalam kehidupan rumah tangga, Rasulullah juga menjadi contoh suami yang baik, selalu bersikap sabar, arif, dan mencintai keluarganya, berlaku adil terhadap istri-istri beliau. Beliau tidak terlalu menyibukkan istri-istrinya, bahkan kalau ada pakaian yang koyak, Rasulullah menambalnya sendiri tanpa perlu menyuruh isterinya. Beliau juga memerah susu kambing untuk keperluan keluarga maupun untuk dijual. Rasulullah juga memberikan contoh hidup zuhud di dunia ini.

Dalam satu dikisahkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, dia berkata, "Umar bin Al-Khaththab ra. bercerita kepadaku, "Aku pernah memasuki rumah Rasulullah Shallailahu Alaihi wa Sallam, yang saat itu beliau sedang berbaring di atas selembar tikar. Setelah aku duduk di dekat beliau, aku baru tahu bahwa beliau juga menggelar kain mantelnya di atas tikar, dan tidak ada sesuatu yang lain, Tikar itu telah menimbulkan bekas guratan di lambung beliau. Aku juga melihat di salah satu pojok rumah beliau ada satu takar gandum. Di dinding tergantung selembar kulit yang sudah disamak. Melihat kesederhanaan ini kedua mataku meneteskan air mata. Mengapa engkau menangis wahai Ibnul-Khaththab?" tanya beliau "Wahai Nabi Allah, bagaimana aku tidak menangis jika melihat gurat-gurat tikar yang membekas di lambung engkau itu dan lemari yang hanya diisi barang itu? Padahal Kisra dan Kaisar hidup di antara buab-buahan dan sungai yang mengalir. Engkau adalah Nabi Allah dan orang pilihan-Nya, sementara lemari engkau hanya seperti itu. Rasulullah menjawab "Wahai Ibnul-Khaththab, apakah engkau tidak ridha jika kita mendapatkan akhirat, sedangkan mereka hanya mendapatkan dunia? " Kedudukan Rasulullah sebagai uswatun hasanah dengan akhlak yang luhur merupakan salah satu hikmah diutusnya beliau ke muka bumi ini yang merupakan rahmat bagi seluruh alam. Dalam satu hadits Rasulullah bersabda: 

إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق
 
“saya diutus untuk menyempurnakan akhlak” Dengan akhlak yang luhur tersebutlah, beliau mampu mengajak umat untuk beriman hanya dalam jangka waktu yang singkat.

Keberhasilah dakwah Rasulullah saw tidak terlepas dari akhlak mulai beliau, dalam surat Ali Imran ayat 159 Allah berfirman: 

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”

Abi Naufal (16/1/2013)

MEMAHAMI MAKNA  "USWATUN HASANAH"



Hasil gambar untuk tulisan arab uswatun hasanah

Sesungguhnya nikmat Allâh Azza wa Jalla kepada manusia sangat banyak. Di antara nikmat besar yang Allâh Azza wa Jalla anugerahkan kepada para hamba-Nya, adalah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seluruh manusia. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ

Sesungguhnya Allâh telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allâh mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allâh, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur`ân) dan al-Hikmah (Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata [Ali-‘Imrân/3: 164]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah insan yang terbaik, memiliki budi pekerti yang paling luhur, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung (QS. al-Qalam/68:4)

Demikian juga, petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik petunjuk. Beliau n bersabda:

فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Sesungguhnya sebaik-baik berita adalah kitab Allâh, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara baru (dalam agama), dan semua bid’ah adalah kesesatan. [HR.Muslim no. 864]

USWAH HASANAH ADALAH NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Dengan penjelasan di atas, maka dalam pandangan seorang Mukmin Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik teladan (uswah hasanah) dalam semua keadaan beliau, kecuali dalam hukum-hukum yang memang dikhususkan bagi beliau n semata.

Allâh Azza wa Jalla berfirman menjelaskan kaedah yang sangat agung ini dalam firman-Nya:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allâh [al-Ahzâb/33:21]

Walaupun ayat ini turun ketika di dalam keadaan perang Ahzâb, akan tetapi hukumnya umum meliputi keadaan kapan saja dan dalam hal apa saja. Atas dasar itu, Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata tentang ayat ini, “Ayat yang mulia ini merupakan fondasi/dalil yang agung dalam meneladani Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua perkataan, perbuatan, dan keadaan beliau. Orang-orang diperintahkan meneladani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perang Ahzâb, dalam kesabaran, usaha bersabar, istiqomah, perjuangan, dan penantian beliau terhadap pertolongan dari Rabbnya. Semoga sholawat dan salam selalu dilimpahkan kepada beliau sampai hari Pembalasan”. [Tafsir Ibnu Katsir, 6/391, penerbit: Daru Thayyibah]

Demikian juga Syaikh Abdur Rahmân bin Nâshir as-Sa’di rahimahullah menjelaskan kaedah menaladani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini dengan menyatakan, “Para Ulama ushul (fiqih) berdalil (menggunakan) dengan ayat ini untuk berhujjah dengan perbuatan-perbuatan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bahwa (hukum asal) umat beliau adalah meneladani (beliau) dalam semua hukum, kecuali perkara-perkara yang ditunjukkan oleh dalil syari’at sebagai kekhususan bagi beliau. Kemudian uswah (teladan) itu ada dua: uswah hasanah (teladan yang baik) dan uswah sayyi`ah (teladan yang buruk).

Uswah hasanah (teladan yang baik) ada pada diri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena orang yang meneladani beliau adalah orang yang menapaki jalan yang akan menghantarkan menuju kemuliaan dari Allâh Azza wa Jalla , dan itu adalah shirâthâl mustaqîm (jalan yang lurus).

Adapun meneladani (mengikuti orang) selain beliau, jika menyelisihi beliau, maka dia adalah uswah sayyi`ah (teladan yang buruk). Sebagaimana perkataan orang-orang kafir ketika diajak oleh para rasul untuk meneladani mereka, (namun orang-orang kafir itu mengatakan):

إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَىٰ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰ آثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ

Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka. [Az-Zukhruf/43:22]

Orang yang mengikuti uswah hasanah (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) dan mendapatkan taufik ini hanyalah orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan (kedatangan) hari Kiamat. Karena keimanan yang ada padanya, demikian juga rasa takut kepada Allâh Azza wa Jalla , dan mengharapkan pahala-Nya, serta takut terhadap siksa-Nya, (semua itu) mendorongnya untuk meneladani Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”. [Taisîr Karîmir Rahmân, surat al-Ahzâb/33:21]

PRAKTEK NYATA KAEDAH ‘NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM ADALAH USWAH HASANAH’
Kaedah ‘Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah uswah hasanah’ adalah kaedah yang agung yang dipratekkan oleh tokoh-tokoh umat ini, termasuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Marilah kita perhatikan hadits berikut ini, bagaimana beliau menegur salah seorang Sahabat beliau dengan kaedah agung ini:

عَنْ عُرْوَةَ قَالَ:” دَخَلَتِ امْرَأَةُ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ – أَحْسِبُ اسْمَهَا خَوْلَةَ بِنْتَ حَكِيمٍ – عَلَى عَائِشَةَ وَهِىَ بَاذَّةُ الْهَيْئَةِ فَسَأَلَتْهَا:”مَا شَأْنُكِ ؟”. فَقَالَتْ :”زَوْجِى يَقُومُ اللَّيْلَ وَيَصُومُ النَّهَارَ”. فَدَخَلَ النَّبِىُّ – n – فَذَكَرَتْ عَائِشَةُ ذَلِكَ لَهُ فَلَقِىَ رَسُولُ اللَّهِ – n – عُثْمَانَ فَقَالَ :”يَا عُثْمَانُ إِنَّ الرَّهْبَانِيَّةَ لَمْ تُكْتَبْ عَلَيْنَا أَفَمَا لَكَ فِىَّ أُسْوَةٌ فَوَاللَّهِ إِنِّى أَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَحْفَظُكُمْ لِحُدُودِهِ “.

Dari ‘Urwah, dia berkata, “Istri ‘Utsmân bin Mazh’ûn – menurutku namanya adalah Khaulah binti Hakîm- menemui ‘Aisyah dengan pakaian seadanya. ‘Aisyah bertanya kepadanya, “Kenapa engkau ini?” Dia menjawab, “Suamiku selalu (sibuk) sholat malam dan berpuasa di siang hari”. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk, ‘Aisyah pun menyampaikan hal itu kepada beliau. Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui ‘Utsmân seraya berkata, “‘Utsmân, sesungguhnya kependetaan tidak diwajibkan atas kita. Tidakkah pada diriku terdapat uswah (teladan) bagimu? Demi Allâh, aku adalah orang yang paling takut kepada Allâh dan orang yang paling menjaga hukum-hukumNya di antara kamu’. [HR. Ahmad dan dishahîhkan oleh al-Albâni dalam Silsilah ash-Shahîhah no.1782]

Allâhu Akbar, alangkah lembutnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur Sahabat ini, “Utsmân, sesungguhnya kependetaan tidak diwajibkan atas kita. Tidakkah pada diriku terdapat uswah (teladan) bagimu?”

Wahai orang-orang yang menelantarkan keluarganya dengan alasan dakwah dan memikirkan umat, tidakkah pada diri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat uswah (teladan) bagi kalian?”

Wahai, orang-orang yang membuat-buat ibadah sendiri, tanpa tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dengan hanya mengikuti seorang ustadz, kyai dan figur tertentu saja, tidakkah pada diri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat uswah (teladan) bagi kalian?”

Marilah kita perhatikan kejadian berikut ini:
Sahabat ‘Ubaid bin Khâalid al-Muharibi Radhiyallahu anhu berkata:

إِنِّي لَبِسُوقِ ذِي الْمَجَازِ عَلَيَّ بُرْدَةٌ لِي مَلْحَاءُ أَسْحَبُهَا قَالَ فَطَعَنَنِي رَجُلٌ بِمِخْصَرَةٍ فَقَالَ ارْفَعْ إِزَارَكَ فَإِنَّهُ أَبْقَى وَأَنْقَى( أَمَا لَكَ فِيَّ أُسْوَةٌ ) فَنَظَرْتُ فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَظَرْتُ فَإِذَا إِزَارُهُ إِلَى أَنْصَافِ سَاقَيْهِ

Aku berada di pasar Dzil Majâz mengenakan burdah (semacam selimut) bergaris-garis hitam dan putih milikku dengan menyeretnya. Lalu seorang laki-laki menekanku dengan tongkatnya, sambil berkata: “Angkatlah sarungmu, itu (akan membuatnya) lebih awet dan lebih bersih. (Tidakkah pada diriku terdapat teladan baik bagimu?)”. Lalu aku melihatnya, ternyata dia (lelaki itu) adalah Rasûlullâh, lalu aku memandang ternyata sarung beliau sampai pertengahan kedua betis beliau. [HR. Ahmad, no:22007; tambahan dalam kurung riwayat at-Tirmidzi dalam asy-Syamâil]

Maka, orang-orang yang sengaja memanjangkan sarung atau celananya melebihi mata kaki, dengan alasan tidak sombong, dengan dalih Sahabat Abu Bakar Radhiyallahu anhu juga melakukannya tanpa kesombongan, tidakkah pada diri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat uswah (teladan) bagi mereka?”

Padahal, Sahabat Abu Bakar Radhiyallahu anhu selalu menjaga diri untuk tidak isbal, beliau tidak sengaja melakukan isbal. Oleh karenanya, mendapatkan rekomendasi dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa dia tidak melakukannya karena sombong!

Ibnu ‘Umar berkata:

مَرَرْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي إِزَارِي اسْتِرْخَاءٌ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ ارْفَعْ إِزَارَكَ فَرَفَعْتُهُ ثُمَّ قَالَ زِدْ فَزِدْتُ فَمَا زِلْتُ أَتَحَرَّاهَا بَعْدُ فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ إِلَى أَيْنَ فَقَالَ أَنْصَافِ السَّاقَيْنِ

Aku melewati Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sedangkan sarungku turun, maka beliau bersabda: “Wahai ‘Abdullâh, angkatlah sarungmu!”, maka aku mengangkatnya. Lalu beliau bersabda; “Tambahlah (Naikkan lagi)!” Maka aku menambahkan (menaikkannya lagi). Setelah itu aku selalu menjaganya.” Sebagian orang bertanya: “Sampai mana?” Ibnu ‘Umar berkata: “Pertengahan betis”. [HR. Muslim, no: 2086. Riyâdhus Shâlihîn, no: 800]

Pada riwayat Imam Ahmad rahimahullah disebutkan, Zaid bin Aslam berkata: bahwa Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu bercerita, “Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya memakai sarung baru, kemudian beliau bertanya: “Siapa ini?” Aku menjawab: “’Abdullâh”. Beliau bersabda: “Jika engkau ‘Abdullâh, maka angkatlah sarungmu!”, maka aku mengangkatnya. Kemudian beliau bersabda; “Tambahlah (Naikkan lagi)!” Maka aku menaikkannya sehingga sampai pertengahan betis”. Kemudian beliau menoleh kepada Abu Bakar sambil bersabda: “Barangsiapa menyeret pakaiannya karena ke sombongan, Allâh tidak akan melihatnya pada hari Kiamat”. Lalu Abu Bakar berkata: “Sesungguhnya terkadang sarungku turun”. Maka Nabi bersabda: “Engkau tidak termasuk mereka”. [HR. Ahmad, no: 6056]

Namun Anda, wahai orang yang memanjangkan celana sampai menutupi mata kaki, sengaja melakukannya, tidak menjaga dengan menaikkannya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memberikan rekomendasi kepada Anda bahwa anda tidak sombong! Jika Anda beranggapan diri Anda seperti Abu Bakar Radhiyallahu anhu – insan terbaik dari umat ini setelah Nabinya- maka alangkah besarnya kesombongan Anda!

Tidakkah Anda mengetahui bahwa isbal merupakan kesombongan atau sarana menuju kesombongan. Marilah kita perhatikan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Jâbir bin Sulaim Radhyiallahu anhu di bawah ini:

وَارْفَعْ إِزَارَكَ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ فَإِنْ أَبَيْتَ فَإِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الْإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنَ الْمَخِيلَةِ وَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمَخِيلَةَ

Angkatlah sarungmu sampai pertengahan betis, jika engkau enggan maka sampai kedua mata kaki. Janganlah engkau menjulurkan kain sarung, karena sesungguhnya itu termasuk kesombongan, dan Allâh tidak menyukai kesombongan. [HR.Abu Dâwud, no: 4084, dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni]

PRAKTEK SAHABAT NABI TERHADAP KAEDAH DI ATAS
Para Sahabat Radhiyallahu anhu juga mengikuti pemahaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , berhujjah dengan ayat yang artinya “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu”. Contoh bagaimana mereka mengaplikasikan kaedah agung ini sangat banyak, berikut beberapa permisalannya.

Marilah kita amati sikap ‘Abdullâh bin ‘Umar Radhayallahu anhu yang tertuang dalam riwayat berikut:

عَنْ سَعِيدِ بْنِ يَسَارٍ أَنَّهُ قَالَ: ” كُنْتُ أَسِيرُ مَعَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ بِطَرِيقِ مَكَّةَ “. فَقَالَ سَعِيدٌ : “فَلَمَّا خَشِيتُ الصُّبْحَ نَزَلْتُ فَأَوْتَرْتُ ، ثُمَّ لَحِقْتُهُ”. فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ : “أَيْنَ كُنْتَ ؟”. فَقُلْتُ : “خَشِيتُ الصُّبْحَ ، فَنَزَلْتُ فَأَوْتَرْتُ “.. فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ:” أَلَيْسَ لَكَ فِى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ ؟” فَقُلْتُ :”بَلَى وَاللَّهِ “. قَالَ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يُوتِرُ عَلَى الْبَعِيرِ”.

Dari Sa’îd bin Yasâr, dia berkata, “(Pernah) aku pergi bersama ‘Abdullâh bin ‘Umar di suatu jalan di kota Mekah. Ketika aku khawatir (masuk waktu) Subuh, aku turun (dari ontaku, lalu aku mengerjakan shalat witir, kemudian aku menyusulnya”. ‘Abdullâh bin ‘Umar bertanya, ‘Dimana saja engkau?’ Aku menjawab,”‘Aku khawatir (masuk waktu) Subuh, aku turun (dari ontaku) untuk mengerjakan sholat witir”. ‘Abdullâh bin ‘Umar berkata, “Tidakkah pada diri Rasûlullâh terdapat uswah (teladan baik) bagimu?” Maka aku menjawab, ‘Ya, demi Allâh’. ‘Abdullâh bin ‘Umar berkata, ‘Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan sholat witir di atas onta’. [HR. al-Bukhari, no. 999]

Contoh lain, berkait dengan ketulusan Sahabat Nabi menerima kebenaran ketika diingatkan dengan kaedah yang agung ini. Karena kebenaran itu lebih berhak untuk diikuti. Lihatlah kisah yang menakjubkan di bawah ini:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ طَافَ مَعَ مُعَاوِيَةَ بِالْبَيْتِ فَجَعَلَ مُعَاوِيَةُ يَسْتَلِمُ الْأَرْكَانَ كُلَّهَا فَقَالَ لَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ لِمَ تَسْتَلِمُ هَذَيْنِ الرُّكْنَيْنِ وَلَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَلِمُهُمَا فَقَالَ مُعَاوِيَةُ لَيْسَ شَيْءٌ مِنْ الْبَيْتِ مَهْجُورًا فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ { لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ } فَقَالَ مُعَاوِيَةُ صَدَقْتَ.

Dari Ibnu ‘Abbâs, dia mengerjakan tawaf di Baitullâh bersama Mu’âwiyah. Lalu Mu’âwiyah mulai menyentuh semua sudutnya (sudut Ka’bah). Maka Ibnu ‘Abbâs berkata kepadanya, “Mengapa Anda menyentuh dua pojok (Syami) ini, padahal Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyentuh keduanya?”. Mu’awiyah menjawab, “Tidak ada sesuatu (pojok) dari Baitullâh ini yang ditinggalkan!”. Maka Ibnu ‘Abbâs berkata kepadanya, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu”. Maka Mu’âwiyah berkata, “Engkau benar!”. [HR. Ahmad, no. 1877]

Mu’âwiyah bin Abu Sufyân Radhiyallahu anhu, salah seorang Sahabat penulis wahyu di masa kenabian, penguasa di zamannya, raja pertama dan terbaik di antara umat ini, beliau tidak malu menerima kebenaran dari Sahabat yang usianya di bawahnya, yaitu Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu, karena memang “sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagi orang beriman”, maka selayaknya kita tidak malu untuk terbuka menerima kepada kebenaran. Karena berpaling dari kesalahan untuk kembali kepada kebenaran adalah keutamaan, bukan kehinaan.

PRAKTEK ULAMA TERHADAP KAEDAH DI ATAS
Bukan hanya generasi Sahabat saja yang menjunjung tinggi keteladanan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kehidupan mereka, generasi-generasi berikutnya pun juga berjalan di atas jalan mereka (para Sahabat) yang baik itu. Marilah kita perhatikan bagaimana sikap Imam Mâlik bin Anas Radhiyallahu anhu , terhadap orang yang menyelisihi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kisah berikut ini:

Sufyân bin ‘Uyainah rahimahullah berkata: “Imam Mâlik rahimahullah didatangi seorang lelaki, lalu bertanya: “Wahai Abu ‘Abdullâh, dari mana aku memulai ihrom?” Beliau menjawab: “Dari Dzul Hulaifah, tempat berihrom Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”. Lelaki tadi berkata: “Aku ingin berihrom dari masjid di dekat kubur (saja)”. Imam Mâlik rahimahullah berkata: “Jangan engkau lakukan (itu), aku khawatir musibah akan menimpamu”. Dia menjawab: “Musibah apa?” Imam Malik rahimahullah berkata: “Apakah ada musibah yang lebih besar dari anggapanmu bahwa engkau meraih keutamaan yang tidak dapat diraih oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Sesungguhnya aku mendengar Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-nya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (an-Nûr/24:63). [Riwayat al-Khathîb dalam al-Faqîh wal Mutafaqqih, 1/148; dll. Lihat ‘Ilmu Ushûl Bida’, hlm. 72]

Semoga Allâh Azza wa Jalla merahmati Imam Mâlik rahimahullah, yang telah memberikan contoh mulia dalam menasehati umat agar tetap mengikuti teladan terbaik mereka.

Dengan sedikit penjelasan dan contoh-contoh di atas maka sepantasnya kita bertanya kepada diri kita, “Sudahkan kita menjadikan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai uswah hasanah bagi kita, dalam seluruh sisi kehidupan?”. Jika ya, maka marilah berharap dan memohon Allâh Azza wa Jalla mencurahkan rahmat-Nya dan balasan baik di akherat. Jika tidak (belum), maka kita perlu memperbaiki diri kita ke arah yang lebih baik. Semoga Allâh selalu membimbing kita di atas jalan-Nya yang lurus. Wallâhu a’lam

sekian penjelasan dan pengetahuan dari saya :uswatun hasanah .semoga pengetahuan yang saya berikan berguna bagi pembacanya 

wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh